Ombudsman NTT mengungkap sejumlah masalah serius terkait penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di Nusa Tenggara Timur. Keluhan masyarakat yang diterima Gubernur NTT menjadi dasar rapat koordinasi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Ombudsman, Pertamina, dan pemerintah daerah. Rapat membahas isu krusial seperti kelangkaan BBM di beberapa daerah hingga praktik penjualan BBM ilegal yang merugikan masyarakat.
Penyaluran BBM yang tidak tepat sasaran dan praktik-praktik ilegal telah memicu keresahan di tengah masyarakat. Hal ini mendorong Ombudsman dan pemerintah daerah untuk mencari solusi bersama guna memastikan ketersediaan dan penyaluran BBM yang adil dan aman bagi seluruh warga NTT.
Masalah Penyaluran BBM Bersubsidi di NTT: Ancaman bagi Masyarakat
Ombudsman NTT mencatat lima permasalahan utama dalam penyaluran BBM bersubsidi. Pertama, ketersediaan BBM yang tidak merata, khususnya di daerah-daerah terpencil seperti Sabu Raijua, Rote Ndao, dan Lembata. Seringkali, pasokan BBM di daerah-daerah tersebut mengalami kendala, menyebabkan kesulitan bagi masyarakat.
Kedua, maraknya penjualan BBM bersubsidi oleh pihak-pihak nonresmi. Pertamini ilegal dan pedagang eceran menjual Pertalite dan Biosolar dengan harga jauh di atas harga resmi, bahkan mencapai Rp 15.000 hingga Rp 40.000 per botol. Praktik ini terjadi meskipun SPBU resmi kehabisan stok.
Ketiga, risiko BBM oplosan dan tidak aman. BBM yang dijual di Pertamini ilegal tidak terjamin kualitas dan keamanannya. Hal ini berpotensi merusak kendaraan dan membahayakan konsumen. Minimnya pengawasan dari PT Pertamina Patra Niaga semakin memperparah situasi.
Keempat, pencampuran BBM dengan air. Laporan kasus ini muncul di Kota Kupang, dengan beberapa kendaraan mengalami kerusakan setelah mengisi BBM dari SPBU atau Pertamini tertentu. Hal ini menunjukkan adanya permasalahan serius dalam kualitas BBM yang beredar.
Kelima, penyelundupan BBM ke Timor Leste. Dugaan penyelundupan solar subsidi menggunakan truk tronton dengan tangki modifikasi kapasitas besar mengindikasikan adanya kebocoran dalam sistem distribusi BBM bersubsidi. Kuota harian yang telah ditetapkan pun diduga dilanggar.
Rekomendasi Ombudsman NTT untuk Atasi Krisis BBM
Ombudsman NTT merekomendasikan beberapa langkah konkret kepada pemerintah daerah. Salah satunya adalah pelarangan penjualan BBM bersubsidi dan nonsubsidi secara eceran melalui Pertamini dan wadah lainnya di seluruh NTT. Larangan ini didasarkan pada UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Perlindungan Konsumen, dan berbagai peraturan lain yang mengatur standar legalitas dan keamanan usaha BBM.
Ombudsman juga berkoordinasi dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk mengatasi masalah keterbatasan SPBU di beberapa wilayah. Salah satu solusi yang dipertimbangkan adalah penunjukan sub-penyalur di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) sesuai Peraturan BPH Migas Nomor 1 Tahun 2024. Langkah ini diharapkan dapat menjangkau daerah-daerah yang sulit diakses.
Langkah Pemerintah Daerah NTT: Pembentukan Satgas Khusus
Pemerintah Provinsi NTT merespon rekomendasi Ombudsman dengan positif. Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah NTT menyatakan akan mengkaji usulan tersebut dan merumuskan kebijakan lanjutan. Pembentukan Satgas Khusus untuk pengawasan penyaluran BBM bersubsidi menjadi salah satu rencana strategis.
Satgas ini diharapkan dapat melakukan pengawasan yang lebih ketat dan efektif untuk mencegah praktik-praktik ilegal serta memastikan BBM bersubsidi tepat sasaran. Kerja sama lintas sektoral akan terus dijaga untuk mewujudkan penyaluran BBM yang efisien, aman, dan terjangkau bagi masyarakat NTT.
Kerja sama antara Ombudsman, Pertamina, dan pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi permasalahan BBM di NTT. Harapannya, langkah-langkah yang diambil dapat memberikan solusi jangka panjang dan memastikan masyarakat NTT dapat mengakses BBM dengan harga terjangkau, kualitas terjamin, dan penyaluran yang aman. Keberhasilan ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.