Ombudsman NTT mendesak Gubernur untuk segera melakukan pembenahan menyeluruh terhadap tata niaga sapi di wilayah tersebut. Desakan ini disampaikan melalui surat resmi yang dikirimkan pada 7 Mei 2025, sebagai respon atas laporan dan temuan dari para pelaku usaha peternakan, khususnya Himpunan Pengusaha Peternak Sapi dan Kerbau (HP2SK) NTT. Kondisi ini dinilai menghambat perkembangan ekonomi dan merugikan para peternak.
Temuan Ombudsman NTT mengungkapkan sejumlah praktik yang bermasalah dalam sistem pengeluaran ternak sapi. Hal ini menimbulkan kerugian bagi peternak dan mengganggu kelancaran distribusi daging sapi di Nusa Tenggara Timur.
Lima Masalah Utama dalam Tata Niaga Sapi NTT
Ombudsman RI Perwakilan NTT menjabarkan lima permasalahan utama yang ditemukan dalam tata niaga sapi di NTT. Permasalahan ini menunjukkan adanya celah dan potensi penyimpangan yang perlu segera ditangani.
Pertama, sistem pembagian kuota pengeluaran sapi yang tidak transparan dan tidak adil. Hal ini menimbulkan potensi diskriminasi, monopoli, dan praktik pungutan liar (pungli).
Kedua, terdapat dugaan praktik jual beli Rekomendasi Pengeluaran Ternak (RPT) secara ilegal. RPT yang seharusnya hanya diberikan kepada pemilik sapi yang sah, justru diperjualbelikan kepada pihak-pihak yang tidak memiliki ternak.
Ketiga, persyaratan berat minimum sapi Bali sebesar 275 kilogram per ekor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur NTT Nomor 52 Tahun 2023, menyulitkan banyak peternak. Akibatnya, banyak permohonan RPT untuk sapi di bawah standar berat ditolak.
Keempat, Ombudsman menemukan indikasi kuat adanya pungli dalam proses penerbitan RPT dan pemeriksaan hewan. Pungli ini diduga dilakukan untuk meloloskan sapi yang belum memenuhi standar berat hidup.
Kelima, proses penerbitan RPT seringkali terhambat karena ketergantungan pada kepala dinas. Tidak adanya mekanisme pelimpahan wewenang penandatanganan kepada pejabat lain menyebabkan penundaan yang merugikan peternak.
Rekomendasi Ombudsman untuk Pembenahan Tata Niaga Sapi
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Ombudsman NTT memberikan sejumlah rekomendasi penting kepada Gubernur NTT. Rekomendasi ini bertujuan untuk menciptakan tata niaga sapi yang lebih transparan, adil, dan efisien.
Ombudsman menyarankan revisi Peraturan Gubernur terkait berat minimum sapi. Penyesuaian ini diharapkan dapat mengurangi kesulitan yang dialami peternak.
Selain itu, diperlukan penyusunan standar waktu pelayanan untuk alokasi pengeluaran ternak. Hal ini penting untuk memastikan kecepatan dan efisiensi proses.
Ombudsman juga merekomendasikan perbaikan mekanisme pembagian kuota melalui musyawarah antara dinas peternakan dan pelaku usaha. Musyawarah ini diharapkan menghasilkan sistem yang lebih adil dan representatif.
Terakhir, diharapkan adanya pelimpahan wewenang penandatanganan RPT kepada pejabat lain. Langkah ini akan mencegah terhentinya pelayanan jika kepala dinas berhalangan.
Langkah-langkah Pengawasan dan Tindak Lanjut
Surat rekomendasi Ombudsman telah disampaikan kepada berbagai pihak terkait, termasuk Ketua DPRD NTT, seluruh bupati/wali kota, dan Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT. Ombudsman akan terus memantau tindak lanjut dari rekomendasi tersebut dan memastikan adanya perbaikan signifikan dalam tata niaga sapi di NTT.
Keberhasilan pembenahan tata niaga sapi ini sangat penting bagi kesejahteraan peternak dan stabilitas perekonomian daerah. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama dalam mewujudkan sistem yang berkeadilan.
Diharapkan pemerintah daerah segera merespon rekomendasi ini dan berkomitmen untuk menciptakan sistem tata niaga sapi yang lebih baik. Hal ini akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat NTT.