Viral di media sosial, sebuah video memperlihatkan warga Cikiwul, Bantargebang, Kota Bekasi, harus membayar Rp 15.000 untuk mendapatkan satu kantong daging kurban. Kejadian ini memicu beragam reaksi, terutama mengingat adanya imbauan agar pembagian daging kurban dilakukan secara gratis.
Video yang diunggah akun Instagram @feedgramindo menunjukkan warga yang telah memiliki kupon tetap diharuskan membayar untuk mendapatkan daging. Akun tersebut juga menyinggung isu premanisme di daerah tersebut, menghubungkan kejadian ini dengan praktik serupa di masa lalu.
Warga Keluhkan Biaya Tambahan Daging Kurban
Dalam video tersebut, terlihat dua ibu-ibu membawa kantong plastik berisi daging kurban. Mereka mengaku harus membayar Rp 45.000 untuk tiga kantong, atau Rp 15.000 per kantong.
Salah satu ibu-ibu tersebut menjelaskan kepada perekam video bahwa mereka sudah mendapatkan kupon, namun tetap diwajibkan membayar untuk menebus daging kurban yang telah mereka terima.
Kejadian ini menimbulkan keresahan di kalangan warga, mengingat seharusnya daging kurban didistribusikan secara cuma-cuma kepada masyarakat yang berhak menerimanya.
Klarifikasi Panitia Kurban: Biaya Operasional Pemotongan
Salah satu panitia kurban, Tarmin, memberikan klarifikasi terkait pemberitaan viral tersebut. Ia menjelaskan bahwa awalnya, wilayah Cikiwul tidak memiliki hewan kurban.
Berinisiatif membantu, Tarmin berupaya mencari donatur untuk menyediakan hewan kurban, terutama demi warga miskin di wilayah tersebut, khususnya para pemulung yang kerap kali tidak mendapatkan bagian daging kurban.
Upaya Tarmin membuahkan hasil. Ia berhasil mendapatkan tiga ekor sapi dari seorang donatur anonim yang keberadaannya dirahasiakan atas permintaan sang donatur.
Biaya Rp 15.000: Kesepakatan Warga atau Kebijakan Sejati?
Kendati mendapatkan tiga ekor sapi, Tarmin menyebutkan bahwa donatur tidak memberikan dana untuk biaya operasional pemotongan hewan kurban.
Untuk menutupi biaya tersebut, terjadilah kesepakatan di antara warga untuk mengenakan biaya Rp 15.000 per kantong daging kepada warga yang menerimanya. Ini yang kemudian memicu kontroversi dan viral di media sosial.
Meskipun Tarmin mengklaim ini sebagai kesepakatan warga, transparansi dan mekanisme pengumpulan biaya ini perlu dipertanyakan. Apakah semua warga setuju dengan kebijakan ini? Apakah ada laporan keuangan yang transparan terkait penggunaan dana tersebut?
Kejadian ini menjadi sorotan karena menyinggung prinsip keadilan dalam distribusi daging kurban. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana kurban sangat penting untuk mencegah kesalahpahaman dan menjaga kepercayaan masyarakat.
Peristiwa di Cikiwul ini menjadi pengingat pentingnya pengelolaan dana dan distribusi daging kurban yang transparan dan akuntabel. Kejelasan informasi dan partisipasi aktif warga dalam proses tersebut sangat krusial untuk mencegah insiden serupa terulang di masa mendatang.
Perlu adanya evaluasi menyeluruh terkait mekanisme distribusi daging kurban, baik dari aspek pengumpulan dana hingga penyalurannya kepada masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa semangat berbagi dan nilai-nilai sosial dalam ibadah kurban tetap terjaga dan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.