Konflik Israel-Palestina merupakan konflik yang kompleks dan berakar panjang, jauh melampaui satu insiden atau satu generasi. Ia merupakan perpaduan rumit dari sejarah kolonialisme, penjajahan, perlawanan, dan diplomasi internasional yang telah berlangsung selama lebih dari seabad. Di balik angka korban dan negosiasi perdamaian, terdapat realita mendalam tentang hilangnya tanah air, pengusiran paksa, dan pertentangan dua hak yang tak kunjung terdamaikan: hak atas keamanan dan hak atas kemerdekaan.
Konflik ini bermula dari mandat Inggris atas Palestina yang diberikan oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922. Mandat ini memuat Deklarasi Balfour 1917 yang mendukung pendirian “Tanah Air Nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina. Hal ini memicu gelombang imigrasi Yahudi besar-besaran dari Eropa Timur, yang meningkat tajam pada tahun 1930-an akibat penganiayaan Nazi.
Tuntutan kemerdekaan dari penduduk Arab Palestina dan penolakan terhadap imigrasi Yahudi memicu pemberontakan bersenjata pada tahun 1937. Pemberontakan ini dibalas dengan kekerasan oleh pihak Inggris dan kelompok Zionis. Kegagalan dalam mencari solusi damai menyebabkan Inggris menyerahkan masalah Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1947.
Perkembangan Konflik Pasca Perang 1948
PBB mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara—satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab Palestina—dengan Yerusalem sebagai kota internasional. Rencana ini ditolak oleh pemimpin Arab. Deklarasi kemerdekaan Israel pada 14 Mei 1948 disusul dengan serangan negara-negara Arab, memicu Perang Arab-Israel pertama. Perang ini berakhir pada tahun 1949 dengan kemenangan Israel, yang menguasai 77% wilayah mandat Palestina. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Nakba, mengakibatkan sekitar 750.000 warga Palestina menjadi pengungsi.
Perang Enam Hari tahun 1967 menjadi titik balik signifikan. Israel menduduki Tepi Barat, Gaza, Yerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan. Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 menyerukan penarikan pasukan Israel dari wilayah-wilayah yang diduduki dan penyelesaian yang adil bagi pengungsi Palestina. Namun, pendudukan berlanjut dan memicu Intifada pertama pada tahun 1987, diikuti oleh Intifada kedua pada tahun 2000 setelah kunjungan kontroversial Ariel Sharon ke kompleks Masjid Al-Aqsa.
Perundingan Damai dan Kebuntuan
Sejumlah perundingan damai, mulai dari Konferensi Madrid 1991 hingga Oslo Accords 1993 dan 1995, memberikan sebagian otonomi kepada Otoritas Palestina. Namun, perundingan ini gagal menghasilkan solusi permanen. Ekspansi permukiman Yahudi, pembangunan tembok pemisah di Tepi Barat (yang dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Internasional), dan embargo terhadap Jalur Gaza setelah Hamas mengambil alih kendali wilayah tersebut pada tahun 2007, semakin memperumit situasi.
Kemenangan Hamas dalam pemilu 2006 dan pengambilalihan Gaza pada 2007 memperburuk perpecahan internal Palestina. Ketegangan meningkat menjadi konfrontasi bersenjata pada tahun 2014, 2021, dan eskalasi besar pada Oktober 2023. Konflik terbaru ini bahkan sampai ke Mahkamah Internasional, yang menerima pengaduan dari Afrika Selatan terhadap Israel atas dugaan genosida.
Peran Amerika Serikat dan Perkembangan Internasional
Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Trump, mengubah kebijakan lama dengan memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem dan mengurangi bantuan untuk pengungsi Palestina. Di sisi lain, perjanjian Abraham yang dimediasi AS menormalisasi hubungan Israel dengan beberapa negara Arab tanpa melibatkan Palestina. Namun, tahun 2024 dan 2025 menandai beberapa perkembangan penting di tingkat internasional, termasuk pemberian hak tambahan bagi Palestina di PBB dan pernyataan Mahkamah Internasional yang menyatakan pendudukan Israel atas wilayah Palestina sebagai ilegal.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Perdamaian
Lebih dari 100 tahun sejak mandat Inggris diberlakukan, konflik ini masih belum menemukan penyelesaian yang adil dan permanen. Rakyat Palestina terus menghadapi penjajahan, pengusiran, dan ketidakpastian masa depan, sementara rakyat Israel hidup dalam bayang-bayang serangan roket dan kekerasan. Di antara tembok-tembok beton dan tanah air yang direbut, harapan perdamaian bergantung pada keberanian komunitas internasional untuk tidak bersikap netral di hadapan ketidakadilan.
Konflik ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti dukungan internasional, kekuatan militer, dan ideologi yang berbeda di antara kedua belah pihak. Pemahaman yang komprehensif tentang sejarah dan dinamika konflik ini sangat penting untuk merumuskan solusi damai yang berkelanjutan.
Penyelesaian konflik ini membutuhkan komitmen dari semua pihak yang terlibat, termasuk Israel dan Palestina, serta dukungan kuat dari komunitas internasional. Solusi yang adil dan berkelanjutan harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk hak asasi manusia dan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi kedua pihak.
Aktor Utama dalam Konflik
Israel
Negara Israel, sebagai negara Yahudi, memiliki tujuan untuk mempertahankan keamanan dan kedaulatan negaranya. Namun, kebijakan-kebijakan yang diambil, seringkali dituduh sebagai tindakan yang melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia warga Palestina.
Palestina
Rakyat Palestina, yang terbagi antara Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Hamas di Gaza, memperjuangkan hak untuk menentukan nasib sendiri, kemerdekaan negara, dan kembali ke tanah air mereka yang telah direbut.
Komunitas Internasional
Peran komunitas internasional sangat krusial. Namun, seringkali terdapat perbedaan kepentingan dan pendekatan yang menghambat tercapainya solusi yang adil dan komprehensif. Pentingnya peran PBB dan negara-negara berpengaruh dalam mendorong perdamaian dan menegakkan hukum internasional tidak dapat dipungkiri.
Tantangan Menuju Perdamaian
Untuk mencapai perdamaian yang langgeng, dibutuhkan pendekatan yang holistik dan komprehensif. Hal ini termasuk negosiasi yang jujur dan berkelanjutan antara kedua belah pihak, penegakan hukum internasional, penanganan masalah kemanusiaan, dan pembangunan kepercayaan antara Israel dan Palestina.