Pasar obligasi Indonesia diprediksi akan mengalami pertumbuhan positif pada paruh kedua tahun 2025. Hal ini didorong oleh proyeksi kenaikan *yield* obligasi pemerintah tenor 10 tahun hingga mencapai 6 persen. Kenaikan ini menarik minat investor, baik domestik maupun asing, untuk berinvestasi di surat utang Indonesia.
Kondisi makro ekonomi yang stabil dan inflasi yang terkendali juga menjadi faktor pendukung. Peningkatan *yield* menciptakan momentum strategis bagi pemerintah dan korporasi untuk menerbitkan obligasi. Permintaan yang tinggi diprediksi akan mendorong perusahaan swasta untuk lebih agresif melakukan *fundraising* melalui pasar obligasi.
Inflow Asia Mendukung Penguatan Pasar Surat Utang
Arus modal asing, terutama dari Asia, diperkirakan akan semakin menguatkan pasar surat utang Indonesia. Likuiditas yang tinggi di negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, mendorong pencarian *yield* yang menarik di negara berkembang. Indonesia menjadi salah satu target investasi yang prospektif.
Investasi ini akan berfokus pada surat utang dengan tenor menengah dan panjang. Hal ini memberikan sinyal positif bagi pasar obligasi Indonesia.
Ketidakpastian di Negara Maju Mendorong Investasi ke Emerging Market
Selain likuiditas yang melimpah di Asia, ketidakpastian ekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa juga turut berkontribusi. Aset *emerging market* seperti Indonesia menjadi alternatif investasi yang lebih menarik.
Fundamental fiskal Indonesia yang relatif kuat dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang stabil menjadi daya tarik utama. Indonesia dinilai sebagai tujuan investasi yang prospektif.
Pemerintah Indonesia berencana menerbitkan obligasi berdenominasi Renminbi (CNH) pada kuartal ketiga tahun 2025. Ini merupakan strategi yang tepat mengingat likuiditas di China yang sangat tinggi, dengan *benchmark* obligasi 10 tahun hanya sekitar 1,6 persen.
Dengan penerbitan obligasi CNH, *yield* obligasi Indonesia diperkirakan bisa mencapai 3 persen. Hal ini akan memberikan peluang pembiayaan yang murah bagi pemerintah.
Momentum Positif di Tengah Pelemahan Dolar AS
Pelemahan dolar AS juga menjadi faktor pendukung bagi apresiasi pasar obligasi Indonesia. Ekspektasi penurunan suku bunga The Fed membuat dolar AS kehilangan daya tarik.
Investor global akan melakukan diversifikasi portofolio ke aset berdenominasi mata uang lain, termasuk rupiah. Hal ini akan memperkuat nilai tukar rupiah dan meningkatkan daya beli investor asing terhadap obligasi lokal.
Penguatan nilai tukar rupiah secara bertahap mengurangi risiko nilai tukar. Kombinasi *yield* yang tinggi dan volatilitas yang rendah akan menarik investor institusi global yang mencari stabilitas imbal hasil jangka panjang.
Baik pemerintah maupun sektor swasta akan diuntungkan dari kondisi ini. *Carry trade* menjadi semakin menarik bagi investor asing yang mencari *yield* tinggi, risiko rendah, dan stabilitas makro ekonomi yang kuat. Indonesia saat ini memenuhi kriteria tersebut.
Waktunya Korporasi Masuk Pasar Obligasi
Dengan potensi *yield* hingga 6 persen dan arus modal asing yang kuat, tahun 2025 menjadi momen ideal bagi emiten korporasi untuk menerbitkan obligasi. Banyak perusahaan yang menunda aksi korporasi tahun lalu kini melihat peluang baru.
Sentimen pasar yang lebih stabil dan peningkatan minat investor akan mendukung *pricing* yang lebih kompetitif. Sektor infrastruktur, energi, dan keuangan diperkirakan akan paling aktif menerbitkan obligasi.
Perbankan juga diprediksi akan aktif menyerap obligasi korporasi untuk diversifikasi aset. Dukungan regulator, seperti relaksasi kebijakan pajak atas bunga obligasi, semakin memperkuat potensi pertumbuhan pasar ini.
Secara keseluruhan, proyeksi positif pasar obligasi Indonesia di tahun 2025 didukung oleh berbagai faktor, mulai dari *inflow* investasi asing hingga kondisi makro ekonomi yang stabil. Kenaikan *yield* obligasi pemerintah memberikan peluang emas bagi pemerintah dan korporasi untuk melakukan penggalangan dana, sementara investor dapat memperoleh imbal hasil yang menarik. Momentum ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal sebelum terjadi perubahan signifikan pada kebijakan moneter global.