Indonesia memasuki era Orde Baru pada 11 Maret 1966, setelah masa Orde Lama yang penuh gejolak politik di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) menandai penyerahan kekuasaan Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto, dengan tujuan utama menjaga stabilitas nasional yang rapuh.
Rezim Orde Baru menjanjikan ketertiban dan pembangunan. Namun, di balik janji tersebut, tersimpan catatan panjang mengenai pembatasan kebebasan dan kesenjangan sosial ekonomi yang signifikan.
Orde Baru: Pembangunan dan Represi
Orde Baru menawarkan solusi atas inflasi yang meroket, kekacauan politik, dan ancaman konflik horizontal. Soeharto, dengan citra militer yang tegas, berhasil membangun stabilitas politik. Ia menerapkan sistem pemerintahan yang sangat sentralistik, dengan kekuasaan terpusat di tangan presiden.
Pembangunan ekonomi menjadi fokus utama. Pemerintah Orde Baru membuka pintu bagi investasi asing dan menjalin hubungan dekat dengan negara-negara Barat. Aliran dana asing yang besar mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat. Indikator sosial seperti angka kemiskinan dan angka kematian bayi pun menunjukkan perbaikan. Indonesia menjelma menjadi salah satu “Macan Asia”.
Namun, pembangunan ini berbiaya sangat mahal. Militer memegang peranan penting dalam kehidupan sipil dan politik melalui konsep dwifungsi ABRI. Kebebasan pers sangat dibatasi, demonstrasi dipadamkan, dan kritik terhadap pemerintah dibungkam. Media massa menjalankan sensor diri, sementara suara-suara disonansi dilabel sebagai anti-Pancasila.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Sistem patronase yang kuat berkembang pesat. Jabatan pemerintahan dan peluang bisnis didapatkan bukan berdasarkan kompetensi, melainkan kedekatan dengan penguasa. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Kekayaan nasional terkonsentrasi di tangan segelintir elit, termasuk keluarga dan kroni Soeharto, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan.
Sistem politik Orde Baru juga dirancang untuk mempertahankan kekuasaan. Partai politik direduksi dan dikendalikan, dengan Golkar sebagai partai pendukung pemerintah yang dominan. Oposisi politik menghadapi berbagai hambatan dan tekanan.
Era Reformasi: Keruntuhan Orde Baru
Pada akhir 1980-an hingga 1990-an, kesadaran kritis masyarakat meningkat. Mahasiswa, aktivis, dan kelompok Islam mulai mempertanyakan legitimasi pemerintah. Oposisi semakin kuat, terutama setelah intervensi pemerintah dalam urusan internal PDI dan penyingkiran Megawati Soekarnoputri.
Puncaknya, krisis keuangan Asia tahun 1997 menghantam Indonesia. Ekonomi runtuh, inflasi meroket, dan pengangguran meluas. Kerusuhan sosial meletus di Jakarta, menandai puncak kemarahan rakyat. Di bawah tekanan yang luar biasa, Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, mengakhiri kekuasaannya selama 32 tahun dan membuka jalan bagi era Reformasi.
Dampak Jangka Panjang Orde Baru
Orde Baru meninggalkan warisan yang kompleks. Di satu sisi, pembangunan ekonomi yang pesat meningkatkan infrastruktur dan meningkatkan taraf hidup sebagian penduduk. Di sisi lain, pemerintahan otoriter meninggalkan luka mendalam berupa pelanggaran HAM, kesenjangan ekonomi yang besar, dan kelemahan kelembagaan yang berlanjut hingga saat ini. Pengaruh Orde Baru terhadap politik dan ekonomi Indonesia masih terasa hingga saat ini, dan analisis yang kritis terhadap periode ini tetap penting untuk memahami sejarah dan perkembangan Indonesia.
Reformasi yang menyusul Orde Baru berupaya memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ditinggalkan, namun prosesnya masih panjang dan penuh tantangan. Mempelajari sejarah Orde Baru merupakan hal krusial untuk mencegah terulangnya kesalahan di masa lalu dan membangun Indonesia yang lebih demokratis, adil, dan makmur.
Editor: Candra Mega Sari
Sumber: ruangguru.com, indonesia-investments.com
Berikut beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan dalam analisis Orde Baru: