Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini meluncurkan wacana kontroversial yang cukup menarik perhatian publik: penghapusan pekerjaan rumah (PR) bagi siswa sekolah. Ia berpendapat bahwa PR selama ini hanya membebani siswa tanpa memberikan nilai tambah yang signifikan bagi pembelajaran maupun kehidupan nyata mereka.
Menurut Dedi Mulyadi, PR cenderung hanya berupa soal-soal yang dipindahkan dari buku teks ke kertas, merupakan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan di sekolah. Hal ini mengurangi waktu luang anak untuk kegiatan yang lebih bermanfaat.
Kritik Terhadap Sistem PR Tradisional
Dedi Mulyadi secara tegas mengkritik sistem PR tradisional yang dinilai kurang efektif. Ia menekankan bahwa waktu belajar di sekolah seharusnya sudah cukup untuk menyelesaikan 80-100% materi pelajaran. Siswa tidak perlu lagi menghabiskan waktu di rumah untuk mengerjakan PR yang monoton dan membosankan.
Lebih lanjut, beliau menyoroti pentingnya keseimbangan antara pendidikan formal dan pengembangan diri. Waktu di rumah seharusnya dimaksimalkan untuk kegiatan yang membangun karakter, melatih kedisiplinan, dan memperluas pengalaman hidup siswa.
Alternatif Pengganti PR: Aktivitas Berbasis Pengalaman
Sebagai alternatif, Dedi Mulyadi mengusulkan agar PR tradisional digantikan dengan aktivitas nyata yang lebih bermakna. Ia menyarankan agar anak-anak membantu orang tua dalam pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, mengepel lantai, memasak, menyetrika, hingga merawat taman.
Kegiatan-kegiatan ini, menurutnya, memiliki nilai edukatif yang tinggi dan relevan dengan berbagai mata pelajaran. Misalnya, mencuci piring dapat mengajarkan tentang kebersihan dan kesehatan (relevan dengan pelajaran IPA dan PPKn), sementara memasak dapat mengajarkan tentang pengukuran dan proses kimia sederhana (relevan dengan pelajaran Matematika dan IPA).
Pentingnya Pembelajaran Berbasis Proyek dan Kolaborasi
Selain aktivitas rumah tangga, Dedi Mulyadi juga mendorong pembelajaran berbasis proyek dan kolaborasi. Anak-anak dapat membentuk kelompok belajar untuk berbagai aktivitas seperti belajar bahasa Inggris, membentuk band musik, menulis puisi, merancang motor listrik sederhana, atau berkebun bersama.
Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya menyenangkan, tetapi juga melatih kreativitas, keterampilan kolaborasi, dan pemecahan masalah. Mereka juga bisa mengembangkan minat dan bakat anak, serta membuka peluang untuk belajar hal baru di luar kurikulum sekolah.
Contoh Konkret Penerapan Konsep Baru
Sebagai contoh konkret, Dedi Mulyadi memberikan ilustrasi pembelajaran pertanian. Siswa diajak untuk mengukur luas sawah, menghitung jarak tanam, jumlah batang padi, dan memproyeksikan hasil panen menggunakan rumus matematika. Dengan cara ini, siswa dapat belajar Matematika dan IPA secara aplikatif dan lebih bermakna.
Penerapan konsep ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Jawa Barat dengan menjadikan proses belajar lebih interaktif, menyenangkan, dan relevan dengan kehidupan nyata. Sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada pengalaman hidup siswa ini diharapkan dapat mencetak generasi yang lebih kreatif, inovatif, dan memiliki karakter yang kuat.
Implementasi dan Harapan
Dedi Mulyadi berencana untuk menuangkan gagasan ini ke dalam surat edaran resmi dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Ia berharap agar sekolah di Jawa Barat dapat segera mengadopsi sistem pendidikan yang lebih holistik dan berfokus pada pengembangan karakter siswa.
Ia menekankan bahwa pendidikan yang ideal memberikan pengalaman hidup yang bermakna, bukan sekadar hafalan teori atau pengerjaan tugas-tugas di atas kertas. Sekolah harus menjadi tempat bagi siswa untuk memulai perjalanan pengembangan diri dan mempersiapkan mereka menghadapi masa depan.
Inisiatif Gubernur Dedi Mulyadi ini tentu menuai pro dan kontra. Namun, ide untuk mengurangi beban PR dan menggantinya dengan aktivitas yang lebih bermakna layak untuk dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut. Semoga langkah ini dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih berfokus pada pengembangan potensi dan karakter siswa.
Tentu saja, implementasi konsep ini membutuhkan persiapan matang, dukungan dari semua pihak, dan evaluasi berkala untuk memastikan efektivitasnya. Tantangannya adalah bagaimana menyesuaikan kurikulum, melatih guru, dan memastikan ketersediaan sumber daya yang cukup untuk mendukung aktivitas-aktivitas di luar ruang kelas.