Sidang sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta antara Ummi Wahyuni, mantan Ketua KPU Jawa Barat, dan KPU Pusat, menyita perhatian publik. Ummi Wahyuni, dalam upaya membela diri terkait pemecatannya, menghadirkan tiga ahli untuk memberikan keterangan di persidangan.
Ketiga ahli tersebut terdiri dari pakar hukum tata negara, Feri Amsari dari Universitas Andalas; Jeirry Sumampouw, mantan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR); dan Abhan, mantan Ketua Bawaslu RI. Kehadiran mereka diharapkan dapat memperkuat argumen hukum Ummi Wahyuni.
Poin-poin Penting Kesaksian Ahli di Sidang PTUN
Feri Amsari, dalam kesaksiannya, mempertanyakan dasar konstitusional Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ia menjelaskan bahwa UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan DKPP. DKPP, menurutnya, bersifat kuasi yudisial atau kuasi eksekutif, bukan lembaga peradilan sesungguhnya. Ini berarti DKPP tidak memiliki wewenang seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa sifat final dan mengikat putusan DKPP sering menimbulkan polemik. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan interpretasi terhadap hal ini, menekankan bahwa sifat final dan mengikat tersebut berlaku bagi lembaga eksekutorial seperti Presiden, KPU RI, dan seterusnya, bergantung pada tingkatan sengketa.
Feri Amsari juga mengkritisi DKPP karena dianggap tidak memiliki wewenang menafsirkan norma hukum secara implementatif. Ia berpendapat, jika ada dugaan kesalahan prosedur DKPP, hal itu dapat diuji di PTUN. Oleh karena itu, objek sengketa dalam kasus ini adalah keputusan KPU yang menindaklanjuti putusan DKPP.
Kesaksian Jeirry Sumampouw: Reformulasi DKPP
Jeirry Sumampouw, yang terlibat dalam pembentukan DKPP, menyatakan bahwa lembaga tersebut awalnya dibentuk untuk mengawasi perilaku penyelenggara pemilu. Namun, dalam praktiknya, banyak putusan DKPP yang dibatalkan PTUN, seperti kasus Evi Novida Ginting Manik. Hal ini menunjukkan adanya preseden buruk dan perlunya reformulasi kelembagaan DKPP.
Ia juga menjelaskan tentang proses rekapitulasi perolehan suara Pemilu yang bersifat berjenjang dan kolektif-kolegial. Keputusan KPU harus diambil secara bersama-sama, bukan oleh ketua saja. Tanggung jawab atas kesalahan juga menjadi tanggung jawab bersama. Lebih lanjut, ia menegaskan penetapan hasil rekapitulasi suara Pemilu DPR RI adalah wewenang KPU RI, bukan KPU Provinsi.
Kesaksian Abhan: Legal Standing Pengadu di DKPP
Abhan, mantan Ketua Bawaslu RI, memberikan pandangan terkait legal standing pengadu di DKPP. Menurutnya, UU Pemilu membatasi peserta Pemilu pada partai politik dan calon perseorangan. Calon anggota DPR RI bukan peserta Pemilu dalam arti UU Pemilu. Oleh karena itu, pengadu di DKPP harus membuktikan legal standing-nya, misalnya dengan surat kuasa tertulis dari partai politik.
Jika legal standing pengadu tidak dapat dibuktikan, pengaduan seharusnya tidak dapat ditindaklanjuti. Kesimpulannya, kesaksian ketiga ahli tersebut memberikan gambaran yang komprehensif mengenai kelembagaan DKPP, proses rekapitulasi suara, dan legal standing dalam konteks sengketa Pemilu. Sidang ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan memperbaiki sistem penyelenggaraan Pemilu di Indonesia ke depannya.
Implikasi dan Analisis
Kasus Ummi Wahyuni ini bukan hanya sekadar sengketa individu, tetapi juga mencerminkan permasalahan sistemik dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Perdebatan mengenai wewenang DKPP dan putusan-putusannya yang sering dibatalkan oleh PTUN menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap lembaga tersebut. Sistem pengawasan dan peradilan Pemilu harus lebih terintegrasi dan jelas untuk mencegah konflik dan memastikan keadilan.
Ke depan, perlu dikaji ulang aturan terkait legal standing pengadu di DKPP. Hal ini penting untuk mencegah penyalahgunaan proses pengaduan dan memastikan hanya pengaduan yang berdasar dan sah yang ditindaklanjuti. Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan Pemilu juga harus ditingkatkan untuk membangun kepercayaan publik.
Kesimpulannya, sidang PTUN ini menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem Pemilu Indonesia. Harapannya, putusan pengadilan akan memberikan kepastian hukum dan mendorong reformasi kelembagaan yang lebih efektif dan akuntabel.