Program Makan Bergizi (MBG) yang dimulai sejak Januari 2025 telah menunjukkan hasil yang menjanjikan terkait isu intoleransi laktosa. Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan minimnya kasus intoleransi laktosa di antara peserta program. Temuan ini memberikan optimisme akan keberhasilan MBG dalam meningkatkan kesehatan gizi anak Indonesia.
Berbagai penelitian dan data menunjukkan bahwa intoleransi laktosa seringkali bukan kondisi medis yang permanen, melainkan lebih kepada reaksi tubuh terhadap kurangnya konsumsi susu. Oleh karena itu, program MBG yang secara konsisten memberikan asupan nutrisi seimbang, termasuk susu, memiliki potensi besar dalam mengatasi permasalahan ini. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai temuan BGN.
Minimnya Kasus Intoleransi Laktosa di Program MBG
Prof. Epi Taufik, Tim Pakar Bidang Susu BGN dan Guru Besar IPB, menyatakan hampir tidak ditemukan kasus intoleransi laktosa selama pelaksanaan MBG. Pengamatan ini didapatkan sejak program dimulai pada 6 Januari 2025, termasuk dalam proyek percontohan di Warungkiara, Sukabumi.
Meskipun ada beberapa kasus gejala ringan, gejala tersebut bersifat sementara dan dapat diatasi dengan membiasakan tubuh kembali mengonsumsi susu secara bertahap. Tubuh akan secara alami memproduksi kembali enzim laktase yang dibutuhkan untuk mencerna laktosa.
Memahami Intoleransi Laktosa: Bukan Penyakit, Melainkan Kondisi
Intoleransi laktosa bukanlah penyakit, melainkan ketidakmampuan sementara tubuh untuk mencerna laktosa karena kekurangan enzim laktase. Kekurangan enzim ini seringkali disebabkan oleh kurangnya konsumsi produk susu.
ASI, yang mengandung laktosa hingga 7 persen, menunjukkan bahwa tubuh manusia sebenarnya mampu mencerna laktosa sejak lahir. Masalah baru muncul jika individu mengurangi atau berhenti mengonsumsi produk susu setelah dewasa.
Jenis-jenis Intoleransi Laktosa dan Penanganannya
Intoleransi laktosa terbagi menjadi tiga jenis: primer, sekunder, dan kongenital. Intoleransi primer terjadi karena berkurangnya konsumsi susu. Intoleransi sekunder disebabkan oleh infeksi atau penyakit lain. Sementara itu, intoleransi kongenital merupakan kelainan genetik langka yang menyebabkan tubuh tidak memproduksi enzim laktase sama sekali.
Pada intoleransi primer dan sekunder, produksi enzim laktase dapat diaktifkan kembali dengan membiasakan tubuh mengonsumsi susu secara bertahap. Hanya intoleransi kongenital yang bersifat permanen. Data dari RSCM menunjukkan bahwa mayoritas kasus intoleransi laktosa terjadi pada usia 20-50 tahun, khususnya pada mereka yang jarang mengonsumsi produk susu.
Tips Mengatasi Intoleransi Laktosa
- Konsumsi susu secara bertahap: Mulailah dengan sedikit susu dan secara perlahan tingkatkan jumlahnya.
- Pilih produk susu rendah laktosa: Susu rendah laktosa atau produk fermentasi seperti yogurt bisa menjadi alternatif yang lebih mudah dicerna.
- Konsultasi dokter: Jika mengalami gejala intoleransi laktosa yang berat atau persisten, konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Kesimpulannya, temuan BGN mengenai minimnya kasus intoleransi laktosa dalam program MBG memberikan harapan baru dalam mengatasi masalah gizi di Indonesia. Program ini menunjukkan bahwa dengan asupan nutrisi yang seimbang dan terjadwal, tubuh dapat beradaptasi dan mengatasi kondisi seperti intoleransi laktosa yang seringkali bersifat sementara. Pentingnya pemahaman yang benar tentang intoleransi laktosa serta pendekatan yang tepat, seperti konsumsi susu bertahap, dapat membantu meningkatkan kesehatan masyarakat. Keberhasilan MBG dalam hal ini perlu terus dikaji dan dikembangkan untuk memastikan keberlanjutan program dan dampak positifnya bagi kesehatan anak Indonesia.