Anggota Komisi XII DPR, Muhammad Haris, mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mencabut izin perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat. Desakan ini dilatarbelakangi oleh pelanggaran yang dilakukan sejumlah perusahaan tambang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di wilayah konservasi tersebut. Haris menekankan pentingnya pemulihan lingkungan secara konkret dan keterlibatan masyarakat lokal dalam proses tersebut.
Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dituntut untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan nikel yang berdampak buruk pada ekosistem Raja Ampat. Komisi XII DPR akan meminta laporan KLHK terkait upaya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar aturan. Tindakan tegas diperlukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan melindungi lingkungan Raja Ampat.
Pelanggaran Hukum dan Lingkungan
Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal ini juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023.
Haris menyebut pelanggaran ini bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan juga pelanggaran moral terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan ekosistem Raja Ampat harus diprioritaskan daripada keuntungan sesaat segelintir pihak.
Perlunya Alternatif Ekonomi Berkelanjutan
Sebagai alternatif, Haris menyoroti pentingnya pengembangan ekonomi berkelanjutan di Raja Ampat. Ekowisata berbasis masyarakat, misalnya, dapat menjadi solusi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Penguatan peran hukum adat juga perlu dipertimbangkan untuk menjaga kelestarian alam Raja Ampat. Hal ini dapat melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan.
Lima Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat
Saat ini, terdapat lima perusahaan yang beroperasi di perairan Raja Ampat. Kelima pulau yang menjadi lokasi pertambangan tersebut adalah Pulau Gag, Pulau Manuran, Pulau Batang Pele, Pulau Kawe, dan Pulau Waigeo.
Berikut profil singkat kelima perusahaan tersebut berdasarkan informasi resmi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM):
PT Gag Nikel
PT Gag Nikel memegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII seluas 13.136 hektar di Pulau Gag. Perusahaan ini saat ini berada pada tahap operasi produksi berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 430.K/30/DJB/2017 yang berlaku hingga 30 November 2047.
PT Anugerah Surya Pratama (ASP)
PT ASP memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi seluas 1.173 hektar di Pulau Manuran. Izin tersebut berdasarkan SK Menteri ESDM Nomor 91201051135050013 dan berlaku sejak 7 Januari 2024 hingga 7 Januari 2034. Perusahaan ini telah memiliki dokumen AMDAL dan UKL-UPL sejak 2006.
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)
PT MRP memegang IUP berdasarkan SK Bupati Raja Ampat Nomor 153.A Tahun 2013 yang berlaku selama 20 tahun, hingga 26 Februari 2033. Wilayah konsesi perusahaan ini mencapai 2.193 hektar di Pulau Batang Pele.
Dua Perusahaan Tambang Lainnya
Informasi mengenai dua perusahaan tambang nikel lainnya yang beroperasi di Raja Ampat masih perlu didalami lebih lanjut untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat. Pemerintah diharapkan dapat mempublikasikan secara transparan data terkait perusahaan-perusahaan tersebut.
Kesimpulan
Desakan pencabutan izin perusahaan tambang nikel yang melanggar aturan di Raja Ampat merupakan langkah penting untuk melindungi ekosistem yang rapuh. Pentingnya pengembangan ekonomi berkelanjutan dan peran serta masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian alam Raja Ampat harus menjadi prioritas utama. Transparansi informasi dari pemerintah terkait aktivitas pertambangan juga krusial untuk memastikan akuntabilitas dan pengawasan yang efektif. Ke depan, dibutuhkan strategi yang terintegrasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Raja Ampat.